Diberdayakan oleh Blogger.

Tugas Softskill ke-3

E.Warganegara dan Negara

Pendahuluan

Sebelum terbentuknya Negara, setiap individu mempunyai kebebasan penuh untuk melaksanakan keinginannya. Sehingga terkadang terjadi persinggungan atau bentrokan antara individu satu dengan lainnya. Akibatnya seperti kata Thomas  Hobbes (1642) manusia seperti serigala terhadap manusia lainnya (homo hominilopus) berlaku hukum rimba yaitu adanya penindasan yang kuat terhadap yang lemah masing-masing merasa ketakutan dan merasa tidak aman di dalam kehidupannya.

Masalah warga Negara sangat berhubungan erat dengan Demokrasi Pancasila. Secara material, aspek di dalam demokrasi Pancasila ialah mengakui harkat dan marabat manusia sebagai mahluk Tuhan, yang menghendaki pemerintahan untuk membahagiakannya, dan memanusiakan waganegara dalam masyarakat Negara dan masyarakat bangsa-bangsa.

Negara, Warganegara, dan  Hukum

Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah atau larangan-larangan) yang mengurus tata tertib alam hukum masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat.
Simorangkir mendefinisikan hukum sebagai peraturan – peraturan yang memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu.

Ciri-Ciri dan Sifat Hukum
 Ciri hukum adalah :
- Adanya perintah atau larangan
  - Perintah atau larangan itu harus dipatuhi oleh setiap masyarakat

Sumber Hukum
           Sumber hukum ialah sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang memaksa, yang kalau dilanggar dapat mengakibatkan sangsi yang tegas dan nyata.
          
           Sumber hukum formal antara lain :
1.      Undang- Undang (Statue)
2.      Kebiasaan (Costun)
3.      Keputusan Hakim (Yurisprudensi)
4.      Traktaat (Treaty)
5.      Pendapat sarjana hukum

Pembagian Hukum
           
            Menurut “sumbernya”, hukum dibedakan menjadi :
1.      Hukum Undang-Undang
2.      Hukum Kebiasaan
3.      Hukum Traktaat
4.      Hukum Yurisprudensi

            Menurut “bentuknya”, hukum dibedakan menjadi :
1.      Hukum Tertulis, meliputi :
Ø  Hukum tertulis yang dikodifikasikan
Ø  Hukum tertulis tak terkodifikasikan
2.      Hukum tak tertulis

            Menurut “tempat berlakunya”, hukum dibedakan menjadi :
1.      Hukum Nasional
2.      Hukum Internasional
3.      Hukum Asing
4.      Hukum Gereja

            Menurut “waktu berlakunya”, hukum dibedakan menjadi :
1.      Lus Consitum (hukum positif)
2.      Lus Constituendem
3.      Hukum Asasi (hukum alam)

Menurut “cara mempertahankannya”, hukum dibedakan menjadi :
1.      Hukum Material
2.      Hukum Formal

Menurut “sifatnya”, hukum dibedakan menjadi :
1.      Hukum yang memaksa
2.      Hukum yang mengatur (pelengkap)
           
            Menurut “isinya”, hukum dibedakan menjadi :
1.      Hukum Privat (hukum sipil)
2.      Hukum Publik (hukum Negara)

Negara

Negara merupakan alat (agency) atau wewenang (authory) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat.
Negara mempunyai 2 tugas, yaitu :
1.               Mengatur dan mengendalikan gejala-gejala kekuasaan yang asosial, artinya yang bertentangan satu sama lain supaya tidak menjadi antagonisme yang membahayakan
2.               Mengorganisasi dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-golongan kearah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya atau tujuan sosial.

Sifat Negara, yaitu :
1.      Memaksa
2.      Monopoli
3.      Sifat mencakup semua, artinya semua peraturan perundangan mengenai semua orang tanpa terkecuali

Bentuk Negara, yaitu :
1.      Negara kesatuan (unitarisem), dibedakan menjadi :
-          Negara kesatuan dengan sistem sentralisasi
-          Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi
2.      Negara serikat ( federasi)

Bentuk kenegaraan yang kita kenal :
1.      Negara dominion
2.      Negara uni
3.      Negara protectoral
Unsur-unsur Negara :
1.      Harus ada wilayahnya
2.      Harus ada rakyatnya
3.      Harus ada pemerintahnya
4.      Harus ada tujuannya
5.      Harus ada kedaulatan
Tujuan Negara
1.      Perluasan kekuasaan semata
2.      Perluasan kekuasaan untuk mencapai tujuan lain
3.      Penyelenggaraan ketertiban umum
4.      Penyelenggaraan kesejahteraan Umum
Sifat-sifat kedaulatan :
1.      Permanen
2.      Absolut
3.      Tidak terbagi-bagi
4.      Tidak terbatas
Sumber kedaulatan :
1.      Teori kedaulatan Tuhan
2.      Teori kedaulatan Negara
3.      Teori kedaulatan Rakyat
4.      Teori kedaulatan hukum

Orang-orang yang berada dalam wilayah satu Negara dapat dibedakan menjadi :
1.      Penduduk, dibedakan menjadi 2, yaitu :
-          Penduduk warga negara atau warga negara
-          Penduduk bukan warga negara atau orang asing
2.      Bukan penduduk, ialah mereka yang berada dalam wilayah suatu negara untuk sementara waktu dan yang tidak bermaksud bertempat tinggal di wilayah tersebut.

Untuk menentukan siapa-siapa yang menjadi warganegara, digunakan dua kriteria :
1.      Kriteria kelahiran
2.      Naturalisasi atau pewarganegaraan


F. Pelapisan Sosial Dan Kesamaan Derajat

Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang hidup bersama, bercampur untuk waktu yang cukup lama, sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan dimana mereka merupakan sistem hidup bersama.Unit terkecil masyarakat adalah keluarga terdiri dari bapak, ibu dan anak. Di kantor ada atasan, bawahan. diperusahaan ada majikan, buruh. Kenyataan-kenyataan yang terlihat ini menunjukkan bahwa didalam kehidupan manusia, maupun kehidupan alam terdapat adanya tingkatan/lapisan didalamnya.
Pelapisan maksudnya adalah keadaan yang berlapis-lapis atau bertingkat-tingkat.Istilah pelapisan diambil dari kata stratifikasi. Istilah stratifikasi berasal dari kata stratum ( jamaknya adalah strata, yang berarti lapisan).
            Pitirim A sorokin mengatakan bahwa pelapisan sosial adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarchies).

Terjadinya Pelapisan Sosial
1.      Terjadi dengan sendirinya
            Proses ini berjalan sesuai dengan pertumbuhan masyarakat itu sendiri. Misalnya karena usia tua, karena pemilikan kepandaian yang lebih, atau kerabat pembuka tanah, seseorang yang memiliki bakat seni, atau sakti.
2.      Terjadi dengan disengaja
            Misalnya tingkat perbedaan berdasarkan jabatan.

Pembagian sistem Pelapisan Menurut Sifatnya
Menurut sifatnya, maka sistem pelapisan dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi :
1.      Sistem pelapisan masyarakat yang  tertutup
2.      Sistem pelapisan masyarakat yang terbuka

Kesamaan Derajat

Cita-cita kesamaan derajat sejak dulu telah diidam-idamkan oleh manusia. Agama mengajarkan bahwa setiap manusia adalah sama. PBB juga mencita-citakan adanya kesamaan derajat. Terbukti dengan adanya universal Declaration of Human Right, yang lahir tahun 1948 menganggap bahwa manusia mempunyai hak yang dibawanya sejak lahir yang melekat pada dirinya. Beberapa hak itu dimiliki tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama atau kelamin, karena itu bersifat asasi serta universal.
Indonesia, sebagai Negara yang lahir sebelum declaration of human right juga telah mencantumkan dalam paal-pasal UUD 1945 hak-hak azasi manusia.
 Pasal 27(2) UUD 1945 menyatakan bahwa, tiap-tiap warganegara  berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Pasal 29(2) menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.

Ellite dan Massa

Dalam pengertian umum elite menunjukkan sekelompok orang yang dalam masyarakat menempati kedudukan tinggi. Dalam arti lebih khusus lagi elite adalah sekelompok orang terkemuka di bidang-bidang tertentu dan khususnya golongan  kecil yang memegang kekuasaan.
Ada dua kecenderungan untuk menetukan elite didalam masyarakat yaitu : pertama menitik beratakan pada fungsi sosial dan yang kedua, pertimbangan-pertimbangan yang bersifat moral.
Kedua kecenderungan ini melahirkan dua macam elite yaitu elite internal dan elite eksternal, elite internal menyangkut integrasi moral serta solidaritas sosial yang berhubungan dengan perasaan tertentu pada saat tertentu, sopan santun dan keadaan jiwa. Sedangkan elite eksternal adalah meliputi pencapaian tujuan dan adaptasi berhubungan dengan problem-problem yang memperlihatkan sifat yang keras masyarakat lain atau masa depan yang tak tentu.
            Isilah massa dipergunakan untuk menunjukkan suatu pengelompokkan kolektif lain yang elementer dan spontan, yang dalam beberapa hal menyerupai crowd, tetapi yang secara fundamental berbeda dengannya dalam hal-hal yang lain.
Ciri-ciri massa adalah :
1.      Keanggotaannya berasal dari semua lapisan masyarakat atau strata social.
2.      Massa merupakan kelompok yagn anonym, atau lebih tepat, tersusun dari individu-individu yang anonym
3.      Sedikit interaksi atau bertukar pengalaman antar anggota-anggotanya

Study Kasus
Masalah Penegakan Hukum di Indonesia
E.Warganegara dan Negara

Pendahuluan

Sebelum terbentuknya Negara, setiap individu mempunyai kebebasan penuh untuk melaksanakan keinginannya. Sehingga terkadang terjadi persinggungan atau bentrokan antara individu satu dengan lainnya. Akibatnya seperti kata Thomas  Hobbes (1642) manusia seperti serigala terhadap manusia lainnya (homo hominilopus) berlaku hukum rimba yaitu adanya penindasan yang kuat terhadap yang lemah masing-masing merasa ketakutan dan merasa tidak aman di dalam kehidupannya.

Masalah warga Negara sangat berhubungan erat dengan Demokrasi Pancasila. Secara material, aspek di dalam demokrasi Pancasila ialah mengakui harkat dan marabat manusia sebagai mahluk Tuhan, yang menghendaki pemerintahan untuk membahagiakannya, dan memanusiakan waganegara dalam masyarakat Negara dan masyarakat bangsa-bangsa.

Negara, Warganegara, dan  Hukum

Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah atau larangan-larangan) yang mengurus tata tertib alam hukum masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat.
Simorangkir mendefinisikan hukum sebagai peraturan – peraturan yang memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu.

Ciri-Ciri dan Sifat Hukum
 Ciri hukum adalah :
- Adanya perintah atau larangan
  - Perintah atau larangan itu harus dipatuhi oleh setiap masyarakat

Sumber Hukum
           Sumber hukum ialah sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang memaksa, yang kalau dilanggar dapat mengakibatkan sangsi yang tegas dan nyata.
          
           Sumber hukum formal antara lain :
1.      Undang- Undang (Statue)
2.      Kebiasaan (Costun)
3.      Keputusan Hakim (Yurisprudensi)
4.      Traktaat (Treaty)
5.      Pendapat sarjana hukum

Pembagian Hukum
           
            Menurut “sumbernya”, hukum dibedakan menjadi :
1.      Hukum Undang-Undang
2.      Hukum Kebiasaan
3.      Hukum Traktaat
4.      Hukum Yurisprudensi

            Menurut “bentuknya”, hukum dibedakan menjadi :
1.      Hukum Tertulis, meliputi :
Ø  Hukum tertulis yang dikodifikasikan
Ø  Hukum tertulis tak terkodifikasikan
2.      Hukum tak tertulis

            Menurut “tempat berlakunya”, hukum dibedakan menjadi :
1.      Hukum Nasional
2.      Hukum Internasional
3.      Hukum Asing
4.      Hukum Gereja

            Menurut “waktu berlakunya”, hukum dibedakan menjadi :
1.      Lus Consitum (hukum positif)
2.      Lus Constituendem
3.      Hukum Asasi (hukum alam)

Menurut “cara mempertahankannya”, hukum dibedakan menjadi :
1.      Hukum Material
2.      Hukum Formal

Menurut “sifatnya”, hukum dibedakan menjadi :
1.      Hukum yang memaksa
2.      Hukum yang mengatur (pelengkap)
           
            Menurut “isinya”, hukum dibedakan menjadi :
1.      Hukum Privat (hukum sipil)
2.      Hukum Publik (hukum Negara)

Negara

Negara merupakan alat (agency) atau wewenang (authory) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat.
Negara mempunyai 2 tugas, yaitu :
1.               Mengatur dan mengendalikan gejala-gejala kekuasaan yang asosial, artinya yang bertentangan satu sama lain supaya tidak menjadi antagonisme yang membahayakan
2.               Mengorganisasi dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-golongan kearah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya atau tujuan sosial.

Sifat Negara, yaitu :
1.      Memaksa
2.      Monopoli
3.      Sifat mencakup semua, artinya semua peraturan perundangan mengenai semua orang tanpa terkecuali

Bentuk Negara, yaitu :
1.      Negara kesatuan (unitarisem), dibedakan menjadi :
-          Negara kesatuan dengan sistem sentralisasi
-          Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi
2.      Negara serikat ( federasi)

Bentuk kenegaraan yang kita kenal :
1.      Negara dominion
2.      Negara uni
3.      Negara protectoral
Unsur-unsur Negara :
1.      Harus ada wilayahnya
2.      Harus ada rakyatnya
3.      Harus ada pemerintahnya
4.      Harus ada tujuannya
5.      Harus ada kedaulatan
Tujuan Negara
1.      Perluasan kekuasaan semata
2.      Perluasan kekuasaan untuk mencapai tujuan lain
3.      Penyelenggaraan ketertiban umum
4.      Penyelenggaraan kesejahteraan Umum
Sifat-sifat kedaulatan :
1.      Permanen
2.      Absolut
3.      Tidak terbagi-bagi
4.      Tidak terbatas
Sumber kedaulatan :
1.      Teori kedaulatan Tuhan
2.      Teori kedaulatan Negara
3.      Teori kedaulatan Rakyat
4.      Teori kedaulatan hukum

Orang-orang yang berada dalam wilayah satu Negara dapat dibedakan menjadi :
1.      Penduduk, dibedakan menjadi 2, yaitu :
-          Penduduk warga negara atau warga negara
-          Penduduk bukan warga negara atau orang asing
2.      Bukan penduduk, ialah mereka yang berada dalam wilayah suatu negara untuk sementara waktu dan yang tidak bermaksud bertempat tinggal di wilayah tersebut.

Untuk menentukan siapa-siapa yang menjadi warganegara, digunakan dua kriteria :
1.      Kriteria kelahiran
2.      Naturalisasi atau pewarganegaraan


F. Pelapisan Sosial Dan Kesamaan Derajat

Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang hidup bersama, bercampur untuk waktu yang cukup lama, sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan dimana mereka merupakan sistem hidup bersama.Unit terkecil masyarakat adalah keluarga terdiri dari bapak, ibu dan anak. Di kantor ada atasan, bawahan. diperusahaan ada majikan, buruh. Kenyataan-kenyataan yang terlihat ini menunjukkan bahwa didalam kehidupan manusia, maupun kehidupan alam terdapat adanya tingkatan/lapisan didalamnya.
Pelapisan maksudnya adalah keadaan yang berlapis-lapis atau bertingkat-tingkat.Istilah pelapisan diambil dari kata stratifikasi. Istilah stratifikasi berasal dari kata stratum ( jamaknya adalah strata, yang berarti lapisan).
            Pitirim A sorokin mengatakan bahwa pelapisan sosial adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarchies).

Terjadinya Pelapisan Sosial
1.      Terjadi dengan sendirinya
            Proses ini berjalan sesuai dengan pertumbuhan masyarakat itu sendiri. Misalnya karena usia tua, karena pemilikan kepandaian yang lebih, atau kerabat pembuka tanah, seseorang yang memiliki bakat seni, atau sakti.
2.      Terjadi dengan disengaja
            Misalnya tingkat perbedaan berdasarkan jabatan.

Pembagian sistem Pelapisan Menurut Sifatnya
Menurut sifatnya, maka sistem pelapisan dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi :
1.      Sistem pelapisan masyarakat yang  tertutup
2.      Sistem pelapisan masyarakat yang terbuka

Kesamaan Derajat

Cita-cita kesamaan derajat sejak dulu telah diidam-idamkan oleh manusia. Agama mengajarkan bahwa setiap manusia adalah sama. PBB juga mencita-citakan adanya kesamaan derajat. Terbukti dengan adanya universal Declaration of Human Right, yang lahir tahun 1948 menganggap bahwa manusia mempunyai hak yang dibawanya sejak lahir yang melekat pada dirinya. Beberapa hak itu dimiliki tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama atau kelamin, karena itu bersifat asasi serta universal.
Indonesia, sebagai Negara yang lahir sebelum declaration of human right juga telah mencantumkan dalam paal-pasal UUD 1945 hak-hak azasi manusia.
 Pasal 27(2) UUD 1945 menyatakan bahwa, tiap-tiap warganegara  berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Pasal 29(2) menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.

Ellite dan Massa

Dalam pengertian umum elite menunjukkan sekelompok orang yang dalam masyarakat menempati kedudukan tinggi. Dalam arti lebih khusus lagi elite adalah sekelompok orang terkemuka di bidang-bidang tertentu dan khususnya golongan  kecil yang memegang kekuasaan.
Ada dua kecenderungan untuk menetukan elite didalam masyarakat yaitu : pertama menitik beratakan pada fungsi sosial dan yang kedua, pertimbangan-pertimbangan yang bersifat moral.
Kedua kecenderungan ini melahirkan dua macam elite yaitu elite internal dan elite eksternal, elite internal menyangkut integrasi moral serta solidaritas sosial yang berhubungan dengan perasaan tertentu pada saat tertentu, sopan santun dan keadaan jiwa. Sedangkan elite eksternal adalah meliputi pencapaian tujuan dan adaptasi berhubungan dengan problem-problem yang memperlihatkan sifat yang keras masyarakat lain atau masa depan yang tak tentu.
            Isilah massa dipergunakan untuk menunjukkan suatu pengelompokkan kolektif lain yang elementer dan spontan, yang dalam beberapa hal menyerupai crowd, tetapi yang secara fundamental berbeda dengannya dalam hal-hal yang lain.
Ciri-ciri massa adalah :
1.      Keanggotaannya berasal dari semua lapisan masyarakat atau strata social.
2.      Massa merupakan kelompok yagn anonym, atau lebih tepat, tersusun dari individu-individu yang anonym
3.      Sedikit interaksi atau bertukar pengalaman antar anggota-anggotanya

Study Kasus
Masalah Penegakan Hukum di Indonesia
http://dinatropika.files.wordpress.com/2009/11/arrest.jpg?w=200&h=300Cita-cita reformasi untuk mendudukan hukum di tempat tertinggi (supremacy of law) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hingga detik ini tak pernah terrealisasi. Bahkan dapat dikatakan hanya tinggal mimpi dan angan-angan (utopia). Begitulah kira-kira statement yang pantas diungkapkan untuk mendeskriptifkan realitas hukum yang ada dan sedang terjadi saat ini di Indonesia.
Bila dicermati suramnya wajah hukum merupakan implikasi dari kondisi penegakan hukum (law enforcement) yang stagnan dan kalaupun hukum ditegakkan maka penegakannya diskriminatif. Praktik-praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, mafia peradilan, proses peradilan yang diskriminatif, jual beli putusan hakim, atau kolusi Polisi, Hakim, Advokat dan Jaksa dalam perekayasaan proses peradilan merupakan realitas sehari-hari yang dapat ditemukan dalam penegakan hukum di negeri ini. Pelaksanaan penegakan hukum yang “kumuh” seperti itu menjadikan hukum di negeri ini seperti yang pernah dideskripsikan oleh seorang filusuf besar Yunani Plato (427-347 s.M) yang menyatakan bahwa hukum adalah jaring laba-laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya dan kuat. (laws are spider webs; they hold the weak and delicated who are caught in their meshes but are torn in pieces by the rich and powerful).
Implikasi yang ditimbulkan dari tidak berjalannya penegakan hukum dengan baik dan efektif adalah kerusakan dan kehancuran diberbagai bidang (politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Selain itu buruknya penegakan hukum juga akan menyebabkan rasa hormat dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum semakin menipis dari hari ke hari. Akibatnya, masyarakat akan mencari keadilan dengan cara mereka sendiri. Suburnya berbagai tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) di masyarakat adalah salah satu wujud ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum yang ada.
Lalu pertanyaanya, faktor apa yang menyebabkan sulitnya penegakan hukum di Indonesia? Jika dikaji dan ditelaah secara mendalam, setidaknya terdapat tujuh faktor penghambat penegakan hukum di Indonesia, ketujuh faktor tersebut yaitu, Pertama, lemahnya political will dan political action para pemimpin negara ini, untuk menjadi hukum sebagai panglima dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan kata lain, supremasi hukum masih sebatas retorika dan jargon politik yang didengung-dengungkan pada saat kampanye. Kedua, peraturan perundang-undangan yang ada saat ini masih lebih merefleksikan kepentingan politik penguasa ketimbang kepentingan rakyat. Ketiga, rendahnya integritas moral, kredibilitas, profesionalitas dan kesadaran hukum aparat penegak hukum (Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat) dalam menegakkan hukum. Keempat, minimnya sarana dan prasana serta fasilitas yang mendukung kelancaran proses penegakan hukum. Kelima, tingkat kesadaran dan budaya hukum masyarakat yang masih rendah serta kurang respek terhadap hukum. Keenam, paradigma penegakan hukum masih positivis-legalistis yang lebih mengutamakan tercapainya keadilan formal (formal justice) daripada keadilan substansial (substantial justice). Ketujuh, kebijakan (policy) yang diambil oleh para pihak terkait (stakeholders) dalam mengatasi persoalan penegakan hukum masih bersifat parsial, tambal sulam, tidak komprehensif dan tersistematis. Mencermati berbagai problem yang menghambat proses penegakan hukum sebagaimana diuraikan di atas. Langkah dan strategi yang sangat mendesak (urgent) untuk dilakukan saat ini sebagai solusi terhadap persoalan tersebut ialah melakukan pembenahan dan penataan terhadap sistem hukum yang ada. Menurut Lawrence Meir Friedman di dalam suatu sistem hukum terdapat tiga unsur (three elements of legal system yaitu, struktur (structure), substansi (subtance) dan kultur hukum (legal culture). Dalam konteks Indonesia, reformasi terhadap ketiga unsur sistem hukum yang dikemukakan oleh Friedman tersebut sangat mutlak untuk dilakukan. Terkait dengan struktur sistem hukum, perlu dilakukan penataan terhadap intitusi hukum yang ada seperti lembaga peradilan, kejaksaan, kepolisian, dan organisasi advokat. Selain itu perlu juga dilakukan penataan terhadap institusi yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap lembaga hukum. Dan hal lain yang sangat penting untuk segera dibenahi terkait dengan struktur sistem hukum di Indonesia adalah birokrasi dan administrasi lembaga penegak hukum. Memang benar apa yang dikemukan oleh Max Weber (1864-1920) bahwa salah satu ciri dari hukum modern adalah hukum yang sangat birokratis. Namun, birokrasi yang ada harus respon terhadap realitas sosial masyarakat sehingga dapat melayani masyarakat pencari keadilan (justitiabelen) dengan baik. Dalam hal substansi sistem hukum perlu segera direvisi berbagai perangkat peraturan perundang-undangan yang menunjang proses penegakan hukum di Indonesia. Misalnya, peraturan perundang-undangan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia seperti KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dan KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) proses revisi yang sedang berjalan saat ini harus segera diselesaikan. Hal ini dikarenakan kedua instrumen hukum tersebut sudah tidak relevan dengan kondisi masyarakat saat ini. Ketiga, Untuk budaya hukum (legal culture) perlu dikembangkan prilaku taat dan patuh terhadap hukum yang dimulai dari atas (top down). Artinya, apabila para pemimpin dan aparat penegak hukum berprilaku taat dan patuh terhadap hukum maka akan menjadi teladan bagi rakyat.
Akhirnya, kita berharap agar ditahun 2007 ini pemerintah dapat secepatnya menyelesaikan agenda reformasi hukum yang selama ini tidak berjalan dengan baik. Jika tidak, bersiap-siaplah akan segera tercipta suatu masyarakat seperti yang pernah dilukiskan oleh seorang filosof besar Inggris Thomas Hobbes (1588-1679) yaitu masyarakat homo homini lupus bellum omnium contra omnes.


E.Warganegara dan Negara

Pendahuluan

Sebelum terbentuknya Negara, setiap individu mempunyai kebebasan penuh untuk melaksanakan keinginannya. Sehingga terkadang terjadi persinggungan atau bentrokan antara individu satu dengan lainnya. Akibatnya seperti kata Thomas  Hobbes (1642) manusia seperti serigala terhadap manusia lainnya (homo hominilopus) berlaku hukum rimba yaitu adanya penindasan yang kuat terhadap yang lemah masing-masing merasa ketakutan dan merasa tidak aman di dalam kehidupannya.

Masalah warga Negara sangat berhubungan erat dengan Demokrasi Pancasila. Secara material, aspek di dalam demokrasi Pancasila ialah mengakui harkat dan marabat manusia sebagai mahluk Tuhan, yang menghendaki pemerintahan untuk membahagiakannya, dan memanusiakan waganegara dalam masyarakat Negara dan masyarakat bangsa-bangsa.

Negara, Warganegara, dan  Hukum

Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah atau larangan-larangan) yang mengurus tata tertib alam hukum masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat.
Simorangkir mendefinisikan hukum sebagai peraturan – peraturan yang memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu.

Ciri-Ciri dan Sifat Hukum
 Ciri hukum adalah :
- Adanya perintah atau larangan
  - Perintah atau larangan itu harus dipatuhi oleh setiap masyarakat

Sumber Hukum
           Sumber hukum ialah sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang memaksa, yang kalau dilanggar dapat mengakibatkan sangsi yang tegas dan nyata.
          
           Sumber hukum formal antara lain :
1.      Undang- Undang (Statue)
2.      Kebiasaan (Costun)
3.      Keputusan Hakim (Yurisprudensi)
4.      Traktaat (Treaty)
5.      Pendapat sarjana hukum

Pembagian Hukum
           
            Menurut “sumbernya”, hukum dibedakan menjadi :
1.      Hukum Undang-Undang
2.      Hukum Kebiasaan
3.      Hukum Traktaat
4.      Hukum Yurisprudensi

            Menurut “bentuknya”, hukum dibedakan menjadi :
1.      Hukum Tertulis, meliputi :
Ø  Hukum tertulis yang dikodifikasikan
Ø  Hukum tertulis tak terkodifikasikan
2.      Hukum tak tertulis

            Menurut “tempat berlakunya”, hukum dibedakan menjadi :
1.      Hukum Nasional
2.      Hukum Internasional
3.      Hukum Asing
4.      Hukum Gereja

            Menurut “waktu berlakunya”, hukum dibedakan menjadi :
1.      Lus Consitum (hukum positif)
2.      Lus Constituendem
3.      Hukum Asasi (hukum alam)

Menurut “cara mempertahankannya”, hukum dibedakan menjadi :
1.      Hukum Material
2.      Hukum Formal

Menurut “sifatnya”, hukum dibedakan menjadi :
1.      Hukum yang memaksa
2.      Hukum yang mengatur (pelengkap)
           
            Menurut “isinya”, hukum dibedakan menjadi :
1.      Hukum Privat (hukum sipil)
2.      Hukum Publik (hukum Negara)

Negara

Negara merupakan alat (agency) atau wewenang (authory) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat.
Negara mempunyai 2 tugas, yaitu :
1.               Mengatur dan mengendalikan gejala-gejala kekuasaan yang asosial, artinya yang bertentangan satu sama lain supaya tidak menjadi antagonisme yang membahayakan
2.               Mengorganisasi dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-golongan kearah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya atau tujuan sosial.

Sifat Negara, yaitu :
1.      Memaksa
2.      Monopoli
3.      Sifat mencakup semua, artinya semua peraturan perundangan mengenai semua orang tanpa terkecuali

Bentuk Negara, yaitu :
1.      Negara kesatuan (unitarisem), dibedakan menjadi :
-          Negara kesatuan dengan sistem sentralisasi
-          Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi
2.      Negara serikat ( federasi)

Bentuk kenegaraan yang kita kenal :
1.      Negara dominion
2.      Negara uni
3.      Negara protectoral
Unsur-unsur Negara :
1.      Harus ada wilayahnya
2.      Harus ada rakyatnya
3.      Harus ada pemerintahnya
4.      Harus ada tujuannya
5.      Harus ada kedaulatan
Tujuan Negara
1.      Perluasan kekuasaan semata
2.      Perluasan kekuasaan untuk mencapai tujuan lain
3.      Penyelenggaraan ketertiban umum
4.      Penyelenggaraan kesejahteraan Umum
Sifat-sifat kedaulatan :
1.      Permanen
2.      Absolut
3.      Tidak terbagi-bagi
4.      Tidak terbatas
Sumber kedaulatan :
1.      Teori kedaulatan Tuhan
2.      Teori kedaulatan Negara
3.      Teori kedaulatan Rakyat
4.      Teori kedaulatan hukum

Orang-orang yang berada dalam wilayah satu Negara dapat dibedakan menjadi :
1.      Penduduk, dibedakan menjadi 2, yaitu :
-          Penduduk warga negara atau warga negara
-          Penduduk bukan warga negara atau orang asing
2.      Bukan penduduk, ialah mereka yang berada dalam wilayah suatu negara untuk sementara waktu dan yang tidak bermaksud bertempat tinggal di wilayah tersebut.

Untuk menentukan siapa-siapa yang menjadi warganegara, digunakan dua kriteria :
1.      Kriteria kelahiran
2.      Naturalisasi atau pewarganegaraan


F. Pelapisan Sosial Dan Kesamaan Derajat

Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang hidup bersama, bercampur untuk waktu yang cukup lama, sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan dimana mereka merupakan sistem hidup bersama.Unit terkecil masyarakat adalah keluarga terdiri dari bapak, ibu dan anak. Di kantor ada atasan, bawahan. diperusahaan ada majikan, buruh. Kenyataan-kenyataan yang terlihat ini menunjukkan bahwa didalam kehidupan manusia, maupun kehidupan alam terdapat adanya tingkatan/lapisan didalamnya.
Pelapisan maksudnya adalah keadaan yang berlapis-lapis atau bertingkat-tingkat.Istilah pelapisan diambil dari kata stratifikasi. Istilah stratifikasi berasal dari kata stratum ( jamaknya adalah strata, yang berarti lapisan).
            Pitirim A sorokin mengatakan bahwa pelapisan sosial adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarchies).

Terjadinya Pelapisan Sosial
1.      Terjadi dengan sendirinya
            Proses ini berjalan sesuai dengan pertumbuhan masyarakat itu sendiri. Misalnya karena usia tua, karena pemilikan kepandaian yang lebih, atau kerabat pembuka tanah, seseorang yang memiliki bakat seni, atau sakti.
2.      Terjadi dengan disengaja
            Misalnya tingkat perbedaan berdasarkan jabatan.

Pembagian sistem Pelapisan Menurut Sifatnya
Menurut sifatnya, maka sistem pelapisan dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi :
1.      Sistem pelapisan masyarakat yang  tertutup
2.      Sistem pelapisan masyarakat yang terbuka

Kesamaan Derajat

Cita-cita kesamaan derajat sejak dulu telah diidam-idamkan oleh manusia. Agama mengajarkan bahwa setiap manusia adalah sama. PBB juga mencita-citakan adanya kesamaan derajat. Terbukti dengan adanya universal Declaration of Human Right, yang lahir tahun 1948 menganggap bahwa manusia mempunyai hak yang dibawanya sejak lahir yang melekat pada dirinya. Beberapa hak itu dimiliki tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama atau kelamin, karena itu bersifat asasi serta universal.
Indonesia, sebagai Negara yang lahir sebelum declaration of human right juga telah mencantumkan dalam paal-pasal UUD 1945 hak-hak azasi manusia.
 Pasal 27(2) UUD 1945 menyatakan bahwa, tiap-tiap warganegara  berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Pasal 29(2) menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.

Ellite dan Massa

Dalam pengertian umum elite menunjukkan sekelompok orang yang dalam masyarakat menempati kedudukan tinggi. Dalam arti lebih khusus lagi elite adalah sekelompok orang terkemuka di bidang-bidang tertentu dan khususnya golongan  kecil yang memegang kekuasaan.
Ada dua kecenderungan untuk menetukan elite didalam masyarakat yaitu : pertama menitik beratakan pada fungsi sosial dan yang kedua, pertimbangan-pertimbangan yang bersifat moral.
Kedua kecenderungan ini melahirkan dua macam elite yaitu elite internal dan elite eksternal, elite internal menyangkut integrasi moral serta solidaritas sosial yang berhubungan dengan perasaan tertentu pada saat tertentu, sopan santun dan keadaan jiwa. Sedangkan elite eksternal adalah meliputi pencapaian tujuan dan adaptasi berhubungan dengan problem-problem yang memperlihatkan sifat yang keras masyarakat lain atau masa depan yang tak tentu.
            Isilah massa dipergunakan untuk menunjukkan suatu pengelompokkan kolektif lain yang elementer dan spontan, yang dalam beberapa hal menyerupai crowd, tetapi yang secara fundamental berbeda dengannya dalam hal-hal yang lain.
Ciri-ciri massa adalah :
1.      Keanggotaannya berasal dari semua lapisan masyarakat atau strata social.
2.      Massa merupakan kelompok yagn anonym, atau lebih tepat, tersusun dari individu-individu yang anonym
3.      Sedikit interaksi atau bertukar pengalaman antar anggota-anggotanya

Study Kasus
Masalah Penegakan Hukum di Indonesia
Cita-cita reformasi untuk mendudukan hukum di tempat tertinggi (supremacy of law) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hingga detik ini tak pernah terrealisasi. Bahkan dapat dikatakan hanya tinggal mimpi dan angan-angan (utopia). Begitulah kira-kira statement yang pantas diungkapkan untuk mendeskriptifkan realitas hukum yang ada dan sedang terjadi saat ini di Indonesia.
Bila dicermati suramnya wajah hukum merupakan implikasi dari kondisi penegakan hukum (law enforcement) yang stagnan dan kalaupun hukum ditegakkan maka penegakannya diskriminatif. Praktik-praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, mafia peradilan, proses peradilan yang diskriminatif, jual beli putusan hakim, atau kolusi Polisi, Hakim, Advokat dan Jaksa dalam perekayasaan proses peradilan merupakan realitas sehari-hari yang dapat ditemukan dalam penegakan hukum di negeri ini. Pelaksanaan penegakan hukum yang “kumuh” seperti itu menjadikan hukum di negeri ini seperti yang pernah dideskripsikan oleh seorang filusuf besar Yunani Plato (427-347 s.M) yang menyatakan bahwa hukum adalah jaring laba-laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya dan kuat. (laws are spider webs; they hold the weak and delicated who are caught in their meshes but are torn in pieces by the rich and powerful).
Implikasi yang ditimbulkan dari tidak berjalannya penegakan hukum dengan baik dan efektif adalah kerusakan dan kehancuran diberbagai bidang (politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Selain itu buruknya penegakan hukum juga akan menyebabkan rasa hormat dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum semakin menipis dari hari ke hari. Akibatnya, masyarakat akan mencari keadilan dengan cara mereka sendiri. Suburnya berbagai tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) di masyarakat adalah salah satu wujud ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum yang ada.
Lalu pertanyaanya, faktor apa yang menyebabkan sulitnya penegakan hukum di Indonesia? Jika dikaji dan ditelaah secara mendalam, setidaknya terdapat tujuh faktor penghambat penegakan hukum di Indonesia, ketujuh faktor tersebut yaitu, Pertama, lemahnya political will dan political action para pemimpin negara ini, untuk menjadi hukum sebagai panglima dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan kata lain, supremasi hukum masih sebatas retorika dan jargon politik yang didengung-dengungkan pada saat kampanye. Kedua, peraturan perundang-undangan yang ada saat ini masih lebih merefleksikan kepentingan politik penguasa ketimbang kepentingan rakyat. Ketiga, rendahnya integritas moral, kredibilitas, profesionalitas dan kesadaran hukum aparat penegak hukum (Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat) dalam menegakkan hukum. Keempat, minimnya sarana dan prasana serta fasilitas yang mendukung kelancaran proses penegakan hukum. Kelima, tingkat kesadaran dan budaya hukum masyarakat yang masih rendah serta kurang respek terhadap hukum. Keenam, paradigma penegakan hukum masih positivis-legalistis yang lebih mengutamakan tercapainya keadilan formal (formal justice) daripada keadilan substansial (substantial justice). Ketujuh, kebijakan (policy) yang diambil oleh para pihak terkait (stakeholders) dalam mengatasi persoalan penegakan hukum masih bersifat parsial, tambal sulam, tidak komprehensif dan tersistematis. Mencermati berbagai problem yang menghambat proses penegakan hukum sebagaimana diuraikan di atas. Langkah dan strategi yang sangat mendesak (urgent) untuk dilakukan saat ini sebagai solusi terhadap persoalan tersebut ialah melakukan pembenahan dan penataan terhadap sistem hukum yang ada. Menurut Lawrence Meir Friedman di dalam suatu sistem hukum terdapat tiga unsur (three elements of legal system yaitu, struktur (structure), substansi (subtance) dan kultur hukum (legal culture). Dalam konteks Indonesia, reformasi terhadap ketiga unsur sistem hukum yang dikemukakan oleh Friedman tersebut sangat mutlak untuk dilakukan. Terkait dengan struktur sistem hukum, perlu dilakukan penataan terhadap intitusi hukum yang ada seperti lembaga peradilan, kejaksaan, kepolisian, dan organisasi advokat. Selain itu perlu juga dilakukan penataan terhadap institusi yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap lembaga hukum. Dan hal lain yang sangat penting untuk segera dibenahi terkait dengan struktur sistem hukum di Indonesia adalah birokrasi dan administrasi lembaga penegak hukum. Memang benar apa yang dikemukan oleh Max Weber (1864-1920) bahwa salah satu ciri dari hukum modern adalah hukum yang sangat birokratis. Namun, birokrasi yang ada harus respon terhadap realitas sosial masyarakat sehingga dapat melayani masyarakat pencari keadilan (justitiabelen) dengan baik. Dalam hal substansi sistem hukum perlu segera direvisi berbagai perangkat peraturan perundang-undangan yang menunjang proses penegakan hukum di Indonesia. Misalnya, peraturan perundang-undangan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia seperti KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dan KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) proses revisi yang sedang berjalan saat ini harus segera diselesaikan. Hal ini dikarenakan kedua instrumen hukum tersebut sudah tidak relevan dengan kondisi masyarakat saat ini. Ketiga, Untuk budaya hukum (legal culture) perlu dikembangkan prilaku taat dan patuh terhadap hukum yang dimulai dari atas (top down). Artinya, apabila para pemimpin dan aparat penegak hukum berprilaku taat dan patuh terhadap hukum maka akan menjadi teladan bagi rakyat.
Akhirnya, kita berharap agar ditahun 2007 ini pemerintah dapat secepatnya menyelesaikan agenda reformasi hukum yang selama ini tidak berjalan dengan baik. Jika tidak, bersiap-siaplah akan segera tercipta suatu masyarakat seperti yang pernah dilukiskan oleh seorang filosof besar Inggris Thomas Hobbes (1588-1679) yaitu masyarakat homo homini lupus bellum omnium contra omnes.


Cita-cita reformasi untuk mendudukan hukum di tempat tertinggi (supremacy of law) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hingga detik ini tak pernah terrealisasi. Bahkan dapat dikatakan hanya tinggal mimpi dan angan-angan (utopia). Begitulah kira-kira statement yang pantas diungkapkan untuk mendeskriptifkan realitas hukum yang ada dan sedang terjadi saat ini di Indonesia.
Bila dicermati suramnya wajah hukum merupakan implikasi dari kondisi penegakan hukum (law enforcement) yang stagnan dan kalaupun hukum ditegakkan maka penegakannya diskriminatif. Praktik-praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, mafia peradilan, proses peradilan yang diskriminatif, jual beli putusan hakim, atau kolusi Polisi, Hakim, Advokat dan Jaksa dalam perekayasaan proses peradilan merupakan realitas sehari-hari yang dapat ditemukan dalam penegakan hukum di negeri ini. Pelaksanaan penegakan hukum yang “kumuh” seperti itu menjadikan hukum di negeri ini seperti yang pernah dideskripsikan oleh seorang filusuf besar Yunani Plato (427-347 s.M) yang menyatakan bahwa hukum adalah jaring laba-laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya dan kuat. (laws are spider webs; they hold the weak and delicated who are caught in their meshes but are torn in pieces by the rich and powerful).
Implikasi yang ditimbulkan dari tidak berjalannya penegakan hukum dengan baik dan efektif adalah kerusakan dan kehancuran diberbagai bidang (politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Selain itu buruknya penegakan hukum juga akan menyebabkan rasa hormat dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum semakin menipis dari hari ke hari. Akibatnya, masyarakat akan mencari keadilan dengan cara mereka sendiri. Suburnya berbagai tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) di masyarakat adalah salah satu wujud ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum yang ada.
Lalu pertanyaanya, faktor apa yang menyebabkan sulitnya penegakan hukum di Indonesia? Jika dikaji dan ditelaah secara mendalam, setidaknya terdapat tujuh faktor penghambat penegakan hukum di Indonesia, ketujuh faktor tersebut yaitu, Pertama, lemahnya political will dan political action para pemimpin negara ini, untuk menjadi hukum sebagai panglima dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan kata lain, supremasi hukum masih sebatas retorika dan jargon politik yang didengung-dengungkan pada saat kampanye. Kedua, peraturan perundang-undangan yang ada saat ini masih lebih merefleksikan kepentingan politik penguasa ketimbang kepentingan rakyat. Ketiga, rendahnya integritas moral, kredibilitas, profesionalitas dan kesadaran hukum aparat penegak hukum (Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat) dalam menegakkan hukum. Keempat, minimnya sarana dan prasana serta fasilitas yang mendukung kelancaran proses penegakan hukum. Kelima, tingkat kesadaran dan budaya hukum masyarakat yang masih rendah serta kurang respek terhadap hukum. Keenam, paradigma penegakan hukum masih positivis-legalistis yang lebih mengutamakan tercapainya keadilan formal (formal justice) daripada keadilan substansial (substantial justice). Ketujuh, kebijakan (policy) yang diambil oleh para pihak terkait (stakeholders) dalam mengatasi persoalan penegakan hukum masih bersifat parsial, tambal sulam, tidak komprehensif dan tersistematis. Mencermati berbagai problem yang menghambat proses penegakan hukum sebagaimana diuraikan di atas. Langkah dan strategi yang sangat mendesak (urgent) untuk dilakukan saat ini sebagai solusi terhadap persoalan tersebut ialah melakukan pembenahan dan penataan terhadap sistem hukum yang ada. Menurut Lawrence Meir Friedman di dalam suatu sistem hukum terdapat tiga unsur (three elements of legal system yaitu, struktur (structure), substansi (subtance) dan kultur hukum (legal culture). Dalam konteks Indonesia, reformasi terhadap ketiga unsur sistem hukum yang dikemukakan oleh Friedman tersebut sangat mutlak untuk dilakukan. Terkait dengan struktur sistem hukum, perlu dilakukan penataan terhadap intitusi hukum yang ada seperti lembaga peradilan, kejaksaan, kepolisian, dan organisasi advokat. Selain itu perlu juga dilakukan penataan terhadap institusi yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap lembaga hukum. Dan hal lain yang sangat penting untuk segera dibenahi terkait dengan struktur sistem hukum di Indonesia adalah birokrasi dan administrasi lembaga penegak hukum. Memang benar apa yang dikemukan oleh Max Weber (1864-1920) bahwa salah satu ciri dari hukum modern adalah hukum yang sangat birokratis. Namun, birokrasi yang ada harus respon terhadap realitas sosial masyarakat sehingga dapat melayani masyarakat pencari keadilan (justitiabelen) dengan baik. Dalam hal substansi sistem hukum perlu segera direvisi berbagai perangkat peraturan perundang-undangan yang menunjang proses penegakan hukum di Indonesia. Misalnya, peraturan perundang-undangan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia seperti KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dan KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) proses revisi yang sedang berjalan saat ini harus segera diselesaikan. Hal ini dikarenakan kedua instrumen hukum tersebut sudah tidak relevan dengan kondisi masyarakat saat ini. Ketiga, Untuk budaya hukum (legal culture) perlu dikembangkan prilaku taat dan patuh terhadap hukum yang dimulai dari atas (top down). Artinya, apabila para pemimpin dan aparat penegak hukum berprilaku taat dan patuh terhadap hukum maka akan menjadi teladan bagi rakyat.
Akhirnya, kita berharap agar ditahun 2007 ini pemerintah dapat secepatnya menyelesaikan agenda reformasi hukum yang selama ini tidak berjalan dengan baik. Jika tidak, bersiap-siaplah akan segera tercipta suatu masyarakat seperti yang pernah dilukiskan oleh seorang filosof besar Inggris Thomas Hobbes (1588-1679) yaitu masyarakat homo homini lupus bellum omnium contra omnes.


0 komentar:

Posting Komentar


  © NOME DO SEU BLOG

Design by Emporium Digital